Powered By Blogger

Thursday, February 17, 2011

VALENTINE AMALAN MENYERUPAI AMALAN ORANG LAIN

Setiapkali 14 Febuari tiba, seluruh dunia akan menyambut Valentine Day ataupun hari kekasih. Pemuda dan pemudi terutama yang sedang bercinta akan menyambutnya dengan cara yang tidak islami. antara lain ialah bercampur gaul antara lelaki dan perempuan tanpa batasan. menurut perangkaan statistik pembuangan bayi paling banyak berlaku pada bulan september dan oktober disebabkan ada kaitan langsung dengan seks luar nikah semasa sambutan Valentine day.

Sejarah Valentine day

Adalah sangat ironis(menyedihkan/tidak sepatutnya terjadi) apabila telinga kita mendengar bahkan kita sendiri 'terjun' dalam perayaan Valentine tersebut tanpa mengetahui sejarah Valentine itu sendiri. Valentine sebenarnya adalah seorang martyr (dalam Islam disebut 'Syuhada') yang kerana kesalahan dan bersifat 'dermawan' maka dia diberi gelaran Saint atau Santo.

Pada tanggal 14 Februari 270 M, St. Valentine dibunuh karena pertentangannya (pertelingkahan) dengan penguasa Romawi pada waktu itu iaitu Raja Claudius II (268 - 270 M). Untuk mengagungkan dia (St. Valentine), yang dianggap sebagai simbol ketabahan, keberanian dan kepasrahan dalam menghadapi cubaan hidup, maka para pengikutnya memperingati kematian St. Valentine sebagai 'upacara keagamaan'.


Tetapi sejak abad 16 M, 'upacara keagamaan' tersebut mulai beransur-ansur hilang dan berubah menjadi 'perayaan bukan keagamaan'. Hari Valentine kemudian dihubungkan dengan pesta jamuan kasih sayang bangsa Romawi kuno yang disebut “Supercalis” yang jatuh pada tanggal 15 Februari.


Setelah orang-orang Romawi itu masuk agama Nasrani(Kristian), pesta 'supercalis' kemudian dikaitkan dengan upacara kematian St. Valentine. Penerimaan upacara kematian St. Valentine sebagai 'hari kasih sayang' juga dikaitkan dengan kepercayaan orang Eropah bahwa waktu 'kasih sayang' itu mulai bersemi 'bagai burung jantan dan betina' pada tanggal 14 Februari.


Dalam bahasa Perancis Normandia, pada abad pertengahan terdapat kata “Galentine” yang bererti 'galant atau cinta'. Persamaan bunyi antara galentine dan valentine menyebabkan orang berfikir bahwa sebaiknya para pemuda dalam mencari pasangan hidupnya pada tanggal 14 Februari. Dengan berkembangnya zaman, seorang 'martyr' bernama St. Valentino mungkin akan terus bergeser jauh pengertiannya(jauh dari erti yang sebenarnya). Manusia pada zaman sekarang tidak lagi mengetahui dengan jelas asal usul hari Valentine. Di mana pada zaman sekarang ini orang mengenal Valentine lewat (melalui) greeting card, pesta persaudaraan, tukar kado(bertukar-tukar memberi hadiah) dan sebagainya tanpa ingin mengetahui latar belakang sejarahnya lebih dari 1700 tahun yang lalu.


Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa moment(hal/saat/waktu) ini hanyalah tidak lebih bercorak kepercayaan atau animisme belaka yang berusaha merosak 'akidah' muslim dan muslimah sekaligus memperkenalkan gaya hidup barat dengan kedok percintaan(bertopengkan percintaan), perjodohan dan kasih sayang.


Sering kali kita dengar petikan hadis - sesiapa yang menyerupai sesuatu kaum maka ia termasuk dikalangan kaum itu, sehinggakan bila kita membuat sesuatu hal ( bukan amalan ibadat ) yang lain sikit dari orang biasa, maka hadis ini lah yang akan diucapkan.

Persoalannya ialah :

1) Bilakah seseorang itu dikatakan menyerupai sesuatu kaum?

2) Dalam hal2 apakah yang dikatakan menyerupai sesuatu kaum?

3) Bila dan sebab apa ( asbabul wurud ) hadis ini diturunkan?

4) Berapa kali kah i.e.pada insiden-insiden manakah Rasulallah s.a.w mengucapkan hadis ini?

Bilakah seseorang itu menyerupai sesuatu kaum? Ringkasnya, meniru atau mencontohi sesuatu kaum dari segi penampilan, perilaku, bahkan beriktikad dalam perayaan mereka dan budaya mereka. Berdasar larangan meniru kaum lain daripada Nabi s.a.w, jelas memaparkan hal ini. Termasuklah larangan itu, berdasarkan hadis yang dirujuk oleh sodbaro seperti di bawah;

من تشبه بقوم فهو منهم

Terjemahan: Barangsiapa meniru sesuatu kaum maka dia adalah sebahagian dari mereka

Rujuk: Direkodkan oleh Abu Daud, diriwayatkan dari Abdullah bin Umar r.a, Sunan Abu Daud, no: 4031, Ibn Hibban, no: 437 dalam Bulughul Maram, hadis ini sahih, Zaila’ie dalam Nusub ar-Rayah, 4/347, Haithami, Majmak Zawaid, 10/274, Fathul Bari, Al-Hafidz al-Asqalani, 6/166, 10/282 – darjat hadis: hasan, Al-Albani, Ghayatul Maram, no: 198, darjat hadis: Sahih.

Kemudian datang hadis lain seperti di bawah:

من رضي عمل قوم فهو منهم

Terjemahan: barangsiapa redha dengan perbuatan suatu kaum, maka dia termasuk dari mereka

Rujuk: Subulus Salam, الصنعاني, 4/1477, dari Abu Yu’la.

Hadis ini didhaifkan Al-Albani (lihat: Silsilah Dhaifah, no: 5648, juga dalam Dhaif al-Jami’) sambil mengulas, hadis-hadis lain semakna dengannya mempunyai sanad lebih kuat menunjukkan faedah daripada maksud hadis tersebut. Dalam lafaz tambahan lain, bahawa Ibnu Mas’ud r.a diajak oleh seorang pemuda ke dalam satu majlis, lalu beliau mendengar suara-suara merintih, meratap (dalam kadar melampau) sambil berkata, aku mendengar Rasulullah s.a.w bersabda, من كثر سواد قوم فهو منهم, - barangsiapa menuruti peratapan satu kaum, dia termasuk dalam golongan mereka, ditambah lafaz - ومن رضى عمل قوم كان شريك من عمل به, - barangsiapa redha dengan perbuatan suatu kaum, maka dia bersubahat dengan mereka yang melakukannya. (rujuk: كشف الخفاء, 2/274, Sakhawi, juga dinukilkan dalam Dirayah, takhrij al-Hidayah dari perkataan gurunya, Ibnu Hajar, 2/267).

Firman Allah SWT :
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang di muka bumi ini, nescaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti prasangka belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (Surah Al-An’am : 116)


Ciri-ciri menyerupai suatu kaum adalah:

1. Merayakan perayaan mereka kerana setiap kaum mempunyai perayaan tersendiri, dan ia amat jelas berdalilkan hadis yang direkodkan Imam Muslim, لكل قوم عيدا وهذا عيدنا – setiap kaum mempunyai perayaan, dan inilah perayaan kita – (Sahih Muslim, no: 892).

2. Meniru budaya & tatacara hidup mereka

3. Meniru perkara khususnya berkaitan dengan simbol agama.

Lihat: Fatawa Islamiah, 1/115.

والله أعلم

Friday, February 11, 2011

KEUTAMAAN JIHAD


KEUTAMAAN JIHAD

Keutamaan jihad sangat banyak sekali, di antaranya adalah:

1. Geraknya mujahid (orang yang berjihad di jalan Allah) di medan perang itu diberikan pahala oleh Allah. [1]
2. Jihad adalah perdagangan yang untung dan tidak pernah rugi. [2]
3. Jihad lebih utama daripada meramaikan Masjidil Haram dan memberikan minum kepada jama’ah haji. [3]
4. Jihad merupakan satu dari dua kebaikan (menang atau mati syahid). [4]
5. Jihad adalah jalan menuju Surga. [5]
6. Orang yang berjihad, meskipun dia sudah mati syahid namun ia tetap hidup dan diberikan rezki. [6]
7. Orang yang berjihad seperti orang yang berpuasa tidak berbuka dan melakukan shalat malam terus-menerus. [7]
8. Sesungguhnya Surga memiliki 100 tingkatan yang disediakan Allah untuk orang yang berjihad di jalan-Nya. Antara satu tingkat dengan yang lainnya berjarak seperti langit dan bumi. [8]
9. Surga di bawah naungan pedang. [9]
10. Orang yang mati syahid mempunyai 6 keutamaan: (1) diampunkan dosanya sejak tetesan darah yang pertama, (2) dapat melihat tempatnya di Surga, (3) akan dilindungi dari adzab kubur, (4) diberikan rasa aman dari ketakutan yang dahsyat pada hari Kiamat, (5) diberikan pakaian iman, dinikahkan dengan bidadari, (6) dapat memberikan syafa’at kepada 70 orang keluarganya. [10]
11. Orang yang pergi berjihad di jalan Allah itu lebih baik dari dunia dan seisinya. [11]
12. Orang yang mati syahid, ruhnya berada di qindil (lampu/ lentera) yang berada di Surga. [12]
13. Orang yang mati syahid diampunkan seluruh dosanya kecuali hutang. [13]

TUJUAN DISYARIA’TAKAN JIHAD
Jihad memerangi musuh Islam tujuannya agar agama Allah tegak di muka bumi, bukan sekedar membunuh mereka.
Allah al-‘Aziiz berfirman:

"Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allah saja. Jika mereka ber-henti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zhalim"[Al-Baqarah: 193]

Ibnu Jarir ath-Thabari (wafat th. 310 H) rahimahullahu berkata: “Perangilah mereka sehingga tidak terjadi lagi kesyirikan kepada Allah, tidak ada penyembahan kepada berhala, kemusyrikan dan ilah-ilah lain, sehingga ibadah dan ketaatan hanya kepada Allah saja tidak kepada yang lain.” [14]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda maksudnya:
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan Allah…” [15]

Abu ‘Abdillah al-Qurthubi (wafat th. 671 H) rahimahullah berkata: “Ayat dan hadits di atas menunjukkan bahwa sebab ‘qital’ (perang) adalah kekufuran.” [16]

Syaikh as-Sa’di rahimahullahu berkata: “Maksud dan tujuan dari perang di jalan Allah bukanlah sekedar menumpahkan darah orang kafir dan mengambil harta mereka, akan tetapi tujuannya agar agama Islam ini tegak karena Allah di atas seluruh agama dan menghilangkan (mengenyahkan) semua bentuk kemusyrikan yang menghalangi tegaknya agama ini, dan itu yang dimaksud dengan ‘fitnah’ (syirik). Apabila fitnah (kemusyrikan) itu sudah hilang, tercapailah maksud tersebut, maka tidak ada lagi pembunuhan dan perang.” [17]

Jadi, jihad disyari’atkan agar agama Allah tegak di muka bumi. Karena itu sebelum dimulai peperangan diperintahkan untuk berdakwah kepada orang-orang kafir agar mereka masuk Islam. [18]

TINGKATAN JIHAD
Menurut Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahulahu jihad memiliki empat tingkatan, [19] yaitu:

Pertama: Jihaadun Nafs (Jihad melawan hawa nafsu).
Jihad ini ada empat tingkatan:

1. Berjihad untuk mempelajari ilmu dan petunjuk, yaitu mempelajari agama yang haq. Seseorang tidak akan dapat mencapai kejayaan, kebahagiaan di dunia dan akhirat melainkan dengan ilmu dan petunjuk. Apabila dia tidak mau mempelajari ilmu yang bermanfaat, maka dia akan celaka dunia dan akhirat.

2. Berjihad untuk mengamalkan ilmu yang telah diperolehnya. Bila hanya semata-mata berdasarkan ilmu saja tanpa amal, maka bisa jadi ilmu itu akan mencelakainya bahkan tidak bermanfaat baginya.

3. Berjihad untuk mendakwahkannya, mengajarkannya kepada orang yang belum mengetahuinya, maka apabila dakwah ini tidak dilakukannya maka hal ini termasuk menyembunyikan ilmu yang telah Allah turunkan baik berupa petunjuk maupun keterangan-keterangan. [20] Maka ilmunya tidak akan bermanfaat dan tidak pula dapat menyelamatkannya dari adzab Allah.

4. Berjihad untuk sabar terhadap kesulitan-kesulitan dalam berdakwah di jalan Allah dan juga sabar terhadap gangguan manusia. Dia menanggung kesulitan-kesulitan dakwah itu semata-mata karena Allah. Apabila terpenuhi keempat tingkatan tersebut maka ia akan termasuk sebagai orang yang Rabbani. Maka, para Salafush Shalih bersepakat bahwa seseorang tidak dapat disebut sebagai seorang yang Rabbani sampai ia dapat mengetahui kebenaran, mengamalkannya dan mengajarkannya. Oleh karena itu orang yang berilmu, mengamalkannya dan mengajarkannya, maka ia akan disanjung di sisi para Malaikat-Nya.

Kedua: Jihaadus Syaithaan (Jihad Melawan Syaithan)
Jihad jenis ini ada dua tingkatan:

1. Berjihad untuk membentengi diri dari serangan syubhat dan keraguan yang dapat merusak iman.
2. Berjihad untuk membentengi diri dari serangan keinginan-keinginan yang merusak dan syahwat.

Tingkatan Jihadusy Syaithan yang pertama akan ada sesudah adanya keyakinan dan pada tingkatan yang kedua akan ada sesudah adanya kesabaran.

Allah al-Haafizh berfirman:

"Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” [As-Sajdah: 24]

Allah mengabarkan bahwa kepemimpinan dalam agama hanya dapat diperoleh dengan sabar dan yakin. Sabar itu akan dapat menolak syahwat dan keinginan-keinginan yang merusak. Sedangkan yakin akan dapat menolak dari keraguan dan syubhat.

Ketiga: Jihaadul Kuffaar wal Munaafiqiin
Pada jihad ini terdapat empat tingkatan:

1. Jihad dengan hati.
2. Jihad dengan lisan.
3. Jihad dengan harta.
4. Jihad dengan jiwa

Jihadul Kuffar (jihad melawan orang-orang kafir) lebih khusus (konteksnya dilakukan) dengan tangan (kekuatan), sedangkan Jihadul Munafiqin (jihad melawan orang-orang munafiq) lebih khusus (konteksnya dilakukan) dengan (kekuatan) lisan.

Allah Ta’ala berfirman maksudnya:

“Wahai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah Neraka Jahannam, dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.” [At-Taubah: 73] [21]

Keempat: Jihaad Arbaabizh Zhulm wal Bida’ wal Munkaraat (Jihad Melawan Tokoh-Tokoh yang Zhalim, Pelaku Bid’ah dan Kemungkaran)

Pada jihad ini terdapat tiga tingkatan:

1. Dengan tangan apabila sanggup.
2. Apabila tidak sanggup maka dengan lisan.
3. Apabila tidak sanggup maka dengan hati.

Demikianlah tiga belas tingkatan dari jihad.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda maksudnya:
“Barangsiapa meninggal dunia sedang ia tidak pernah ikut berperang dan ia juga tidak terbetik dalam benaknya untuk berperang, maka matinya termasuk dalam satu cabang kemunafikan.” [22]

Jihad harus dilaksanakan bersama ulil amri, baik ulil amri itu baik ataupun jahat.

PENDAPAT PERIBADI TENTANG TINGKATAN JIHAD :

Banyak perbahasan dan perbezaan pendapat yang saya selalu dengar berkenaan tingkatan Jihad. Ada yang mengatakan jihad melawan hawa nafsu yang paling utama. Ada yang mengatakan jihad melawan pemerintah yang zalim yang lebih utama. Bagi saya kedua-dua pendapat itu adalah benar. Merujuk kepada carta tingkatan Jihad di atas kita akan tahu bahawa hadis Rasulullah saw tentang tingkatan Jihad semuanya benar.

Kita melihat carta tersebut seperti tangga.. Kita lihat kedudukan paling atas berdasarkan carta ialah menentang pemerintah yang zalim. walaubagaimanapun apabila kita hendak pergi ke tingkat paling atas kita perlu melalui anak tangga yang pertama iaitu jihad melawan hawa nafsu. Oleh itu, pendapat yang mengatakan jihad nafsu lebih utama dan lebih tinggi dari jihad menentang pemerintah yang zalim adalah benar jika dilihat pada tangga yang pertama.

Pendapat yang mengatakan jihad menentang pemerintah yang zalim lebih utama dari jihad melawan hawa nafsu juga benar jika dilihat puncak anak tangga carta tersebut.. Cuba perhatikan gambar lakaran segi tiga berupa anak tangga yang saya sediakan untuk membuktikan kebenarannya.

Sebagai kesimpulannya, untuk sampai ke anak tangga paling tinggi, kita perlu melalui tangga pertama... Perbahasan yang mana jihad paling utama perlu dihentikan dan kita kembalikan kepada al-Quran dan Hadis rasulullah saw.

P/S : Ini adalah pendapat saya sendiri berdasarkan tingkatan Jihad yang dikemukakan oleh Ibnu Qayyim r.a. WaAllahu A'lam...

PEMBAGIAN JIHAD
Jihad melawan orang-orang kafir dibagi menjadi 2 (dua):

Pertama: Jihadul Fat-h wath Thalab (jihad ofensif).
Jihad ini memerlukan terpenuhinya syarat-syarat syar’iyyah (syarat-syarat yang telah ditentukan oleh syari’at Islam), sebagai berikut:
1. Adanya seorang imam (pemimpin).
2. Ada Daulah (negara).
3. Ada ar-Raayah (bendera jihad).

Kedua: Jihadud Difaa' (jihad defensif, pembelaan terhadap sebuah negeri Muslim).

Jihad ini hukumnya fardhu ‘ain atas seluruh penduduk negeri yang diserang oleh musuh (agresor). Jika penduduk negeri tersebut lemah, maka mereka harus dibantu oleh penduduk negeri tetangganya yang terdekat.

Jihad syar’i harus memiliki persiapan syar’i dan persiapan itu terbagi menjadi 2 (dua):

Pertama, persiapan pembinaan keimanan sehingga umat dapat menegakkan hakekat ibadah kepada Allah Rabb semesta alam, melatih jiwa mereka di atas Kitabullah, mensucikan hati mereka di atas Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga mereka dapat menolong agama Allah Jalla Jalaluhu dan syari’at-Nya.

Hal tersebut sesuai dengan firman-Nya:

"Dan sungguh Allah pasti menolong siapa saja yang menolong (agama)-Nya.” [Al-Hajj: 40]

Kedua, persiapan fisik, yakni mempersiapkan jumlah pasukan dan perlengkapannya untuk melawan musuh-musuh Allah dan memerangi mereka.
Allah Jalla Jalaluhu berfirman:

“Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dari kuda-kuda yang ditambatkan untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedangkan Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan di jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).” [Al-Anfaal: 60]

Menghidupkan kewajiban jihad dengan segala ketentuan syari’atnya adalah wajib dengan memenuhi syarat-syaratnya.

Memberikan sifat kepada orang-orang yang menghidupkan jihad yang wajib -menurut ketentuan syari’at- dengan kata-kata terorisme adalah kesalahan yang besar, fitnah, tuduhan yang tidak benar dan kesalahan yang fatal serta kebodohan yang sangat.

Adapun melakukan kekacauan (anarki), menteror orang, melemparkan bom, bunuh diri dengan bom mobil, menakut-nakuti orang yang aman atau orang-orang yang dijaga keamanannya oleh negara, membunuh anak-anak, wanita dan orang tua dengan nama jihad dari agama ini adalah tidak benar, perbuatan ini menentang Allah ar-Rafiiq, Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum Mukminin. Mereka telah keluar dari jalannya ulama yang pemahaman ilmunya sangat mendalam. [23]



[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Pasal "Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Menegakkan Jihad Fii Sabiilillaah Bersama Ulil Amri". Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, PO BOX 7803/JACC 13340A. Cetakan Ketiga Jumadil Awwal 1427H/Juni 2006M]
_________
Foote Note
[1]. Lihat at-Taubah:120-121.
[2]. Lihat ash-Shaaf: 10-13
[3]. Lihat at-Taubah: 19-21.
[4]. Lihat at-Taubah: 52.
[5]. Lihat Ali ‘Imran: 142.
[6]. Lihat Ali ‘Imran: 169-171.
[7]. HR. Al-Bukhari (no. 2785), Muslim (no. 1878), at-Tirmidzi (no. 1619) dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu.
[8]. HR. Al-Bukhari (no. 2790) dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu
[9]. HR. Al-Bukhari (no. 3024-3025) dari Sahabat ‘Abdullah bin Abi ‘Aufa Radhiyallahu ‘anhu
[10]. HR. At-Tirmidzi (no. 1663), Ibnu Majah (no. 2799) dan (Ahmad IV/131) dari Sahabat Miqdam bin Ma’di al-Kariba Radhiyallahu ‘anhu. At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan shahih.”
[11]. HR. Bukhari (no. 2792), Fat-hul Baari (VI/13-14) dari Sahabat Anas bin Malik.
[12]. HR. Muslim (no. 1887) dan Tirmidzi (no. 3011) dari Sahabat Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu
[13]. HR. Muslim (no. 1886) dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash Radhiyallahu ‘anhu at-Tirmi-dzi (no. 1640), dari Sahabat Anas Radhiyallahu ‘anhu, shahih.
[14]. Lihat Tafsiiruth Thabari (II/200).
[15]. HR. Al-Bukhari (no. 25) dan Muslim (no. 22) dari Sahabat Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma
[16]. Lihat Tafsiir al-Qurthubi (II/236), cet. Darul Kutub al-‘Ilmiyah.
[17]. Lihat Taisiirul Kariimir Rahmaan fii Tafsiiri Kalaamil Mannaan (hal. 89), Mu-assasah ar-Risalah, cet. I, th. 1420 H.
[18]. Muhimmatul Jihad oleh ‘Abdul Aziz bin Rais ar-Rais, th. 1424 H.
[19]. Lihat Zaadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibaad (III/10-11), Muassasah ar-Risalah, cet. XXV/th. 1412H.
[20]. Lihat QS. Al-Baqarah: 159 dan 174.-Pent.
[21]. Lihat juga QS. At-Tahrim: 9
[22]. HR. Muslim (no. 1910), Abu Dawud (no. 2502), an-Nasa-i (VI/8), Ahmad (II/374), dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu
[23]. Lihat Mujmal Masaailil Iman wal Kufri al-‘Ilmiyyah fii Ushulil Aqidah as-Salafiyyah point 8 tentang Jihad fii Sabilillaah (hal. 57-60).